Selasa, 26 Juni 2012

Tinjauan sunat perempuan dalam Islam

  PERLINDUNGAN ANAK DALAM BERAGAMA   Analisis Kebijakan Sunat Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam dan Perundang-Undangan   oleh Dr. HM. Asrorun Ni'am Sholeh, MA   A. Pendahuluan Khitan dalam kajian fikih (hukum Islam) secara umum ditempatkan dalam bab ibadah, dan bahkan ada yang lebih spesifik, ditempatkan pada bagian "bersuci". Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dikaitkan dengan upaya pensucian diri, baik bersifat hissi maupun maknawi. Dalam tataran hukum taklifi, para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan hukum terkait dengan khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Secara umum, pandangan fuqaha terbagi menjadi dua; kelompok yang wajib, dan kelompok yang menetapkan hukum sunnah. Bahkan, dalam hal khitan terhadap perempuan, ada yang "menetralkannya" dan menganggap sebagai makrumah. Isu khitan perempuan menjadi menyeruak dan muncul menjadi isu publik sangat terkait dengan setidaknya dua hal; (i) kampanye sistemik dari lembaga donor terkait dengan upaya perlindungan hak asasi manusia dan hak anak. Termasuk hak perempuan dalam melakukan reproduksi; (ii) sajian atas penyelewengan praktek khitan perempuan yang berdampak pada timbulnya berbagai ekses negatif yang membahaayakan (sebagaimana kasus di berbagai negara afrika). Atas dasar fakta tersebut muncul rencana aksi pelarangan khitan terhadap perempuan. Bahkan, muncul desakan agar pelarangan tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan disertai hukuman bagi pelakunya. Beberapa aktifis LSM yang bergerak di bidang perempuan, dengan sokongan lembaga internasional mengampanyekan hal serupa. Berkorelasi dengan hal tersebut, dalam konteks Indonesia, pada pertengahan tahun 2006 muncul Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Terhadap Surat ini, muncul gejolak di masyarakat, baik masyarakat awam maupun tenaga kesehatan, khususnya bidan. Surat Edaran ini dinilai sangat bias dan justru tidak memberikan perlindungan bagi anak-anak yang minta disunat. Larangan ini justru mengundang masalah karena masalah sunat, tidak hanya urusan kesehatan tetapi berkaitan dengan urusan agama. Sebaliknya, oleh sebagian kelompok masyarakat, SE ini dijadikan “senjata” untuk terus mengampanyekan larangan praktek sunat perempuan di Indonesia. Pada 2008, MUI kemudian menetapkan fatwa terkait khitan perempuan. Namun, substansi fatwa bukan mengarah kepada jawaban hukum tentang khitan perempuan, tetapi merespons adanya masalah di masyarakat terkait dengan upaya larangan terhadap khitan perempuan. Fatwa tersebut secara tegas menjelaskan bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan hukum Islam. Diskusi publik kembali mencuat pada saat Menteri Kesehatan mengoreksi total atas SE larangan medikalisasi sunat perempuan, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Setidaknya ada dua substansi yang dituju oleh Permenkes ini, pertama, memberikan SOP terhadap praktek sunat perempuan untuk menjamin pelaksanaan sunat yang aman secara medis, kedua, pengaturan ini mengoreksi SE Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. Makalah ini akan menjelaskan soal relevansi ketentuan yang mengatur khitan perempuan dengan prinsip perlindungan anak secara substanstif. Pembahasan dimulai dengan penjelasan substansi dan argumentasi fatwa MUI seputar masalah khitan perempuan. Dilanjutkan dengan dinamika pembahasan dan regulasi mengenai sunat perempuan serta relenavansinya dengan prinsip perlindungan agama bagi anak.     B. Seputar Fatwa MUI Terkait Khitan Perempuan: Substansi dan Relevansi     ​1. Substansi dan Diktum Fatwa   Diktum fatwa MUI tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan terdiri dari empat bagian; (i) Status Hukum Khitan Perempuan; (ii) Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan; (iii) Batas atau Cara Khitan Perempuan; dan (iv) Rekomendasi. Diktum fatwa MUI selengkapnya adalah sebagai berikut: ​ Pertama: Status Khitan Perempuan 1. Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. 2. Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.   Kedua: Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari'ah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.   Ketiga: Batas atau Cara Khitan Perempuan Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris. 2. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.   Keempat: Rekomendasi 1. Meminta kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan. 2. Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini.   Dari diktum fatwa tersebut, sejatinya fatwa MUI ini ingin menegaskan dua substansi sekaligus. Pertama, menegasikan tindak pelarangan khitan terhadap perempuan. Kedua, menegaskan tata cara berkhitan bagi perempuan yang sesuai dengan ketentuan syari'ah dan melarang tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menimbulkan bahaya bagi perempuan, baik secara fisik maupun psikis.     ​2. Argumentasi atas Penetapan Fatwa ​Fatwa MUI terkait dengan masalah ini, diawali dengan adanya penegasan bahwa khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Pelaksanaannya bagian dari ibadah. ​Hal ini menjadi penting utuk ditegaskan terkait dengan adanya kesalahpahaman terhadap posisi khitan. Khitan tidak hanya sekedar kebutuhan medis, namun merupakan bentuk ibadah yang "dogmatik". Meski tidak jarang ajaran agama yang bersifat dogmatik tersebut melahirkan hikmah positif. Sekalipun secara medis tidak (atau lebih tepatnya belum) ditemukan manfaat terhadap pelaksanaan khitan bukan serta merta ia menjadi terlarang. Hal ini sangat berbeda dengan cara pandang medik ansich. Cara pandang yang seperti ini dipastikan akan melarang khitan jika tidak ada pertimbangan medis. Selanjutnya, secara lebih ekstrim, cara pandang seperti ini akan mengabsahkan gerakan pro-integrasi genital yang juga melarang khitan laki-laki sebagaimana larangan terhadap khitan terhadap perempuan di AS. ​Dalam teori hukum Islam, ibadah itu ada yang berdimensi rasional (ta'aqquli/ ma'qulat al-ma'na) dan ada yang dogmatik (ta'abbudi/ghair ma'qulat al-ma'na). Nah, khitan sekalipun tidak dapat dinalar sesuai dengan nalar medik sekalipun, ia tetap dan harus eksis sebagai bentuk "identitas" agama. ​Penetapan fatwa bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan syari'ah, didasarkan pada keumuman ayat al-Quran, Sunnah, dan pandangan ulama madzhab yang bersepakat atas kebolehan khitan terhadap perempuan. Secara tersirat, terdapat adanya konsensus di kalangan ulama mengenai ketidakbenaran tindakan pelarangan khitan terhadap perempuan. Ulama sepakat bahwa khitan terhadap perempuan tidak haram, pun juga tidak makruh. ​Dalil dari al-Quran yang dijadikan landasan fatwa MUI ini adalah keumuman ayat tentang keharusan mengikuti millah Ibrahim, antara lain dalam QS al-Nahl ayat 123:   ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. an-Nahl[16] : 123) ​Dalam Tafsir al-Shan'ani disebutkan, cakupan "al-hanifiyyah" antara lain tauhid, khitan, larangan menikah dengan ibu kandung, anak kandung, dan saudara kandung. ​Di samping itu, al-Syaukani dalam tafsirnya Fath al-Qadir menjelaskan pengertian "millah" di sini antara lain mencakup seluruh hal yang disyari'atkan oleh Allah melalui nabi-Nya. Sedang cakupan millah yang diperintahkan untuk diikuti dalam ayat ini, ada yang melihatnya sebatas masalah-masalah ushul. Sementara al-Syaukani lebih memilih pengertian millah yang menyatakan seluruh ketentuan syari'ah sepanjang tidak dinasakh, termasuk ibadah haji dan khitan. ​Ayat ini juga disebutkan secara eksplisit oleh Imam Nawawi dalam Majmu' sebagai landasan kewajiban khitan dan juga al-Syaukani dalam Nail al-Authar sebagai landasan pensyari'atan khitan. Hal ini sekaligus menjawab analisis Ahmad Luthfi Fathullah yang menegaskan jarang ulama yang menggunakan ayat tersebut sebagai dalil wajibnya khitan. ​Dalam perspektif ilmu tafsir, dikenal dengan tafsir ayat dengan ayat, atau dengan hadis, yang dikenal dengan tafsir bi al-ma'tsur. Nah, dalam konteks ayat ini, ada penjelasan dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan redaksi: ختن إبراهيم وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم "Nabi Ibraham saw berkhitan pada usia delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak" (HR. Bukhari Muslim). ​Dalam kaedah ushul fiqh, keumuman suatu lafadz tetap berlaku umum sepanjang tidak ada yang mentakhshish. Bahkan, Imam syafi'i menegaskan petunjuk (dalalah) lafazh yang umum bersifat qath'i. Di samping keumuman ayat di atas, fatwa MUI ini juga didasarkan pada beberapa hadis nabi saw, di antaranya hadis shahih yang diriwayatkan para punggawa hadis kenamaan, dengan redaksi sebagai berikut:   عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ “Lima perkara yang merupakan fitrah manusia : khitan, al-Istihdad (mencukur rambut pada sekitar kemaluan), mencukur bulu ketiak, menggunting kuku dan memotong kumis". (HR Jama’ah dari Abu Hurairah r.a.). Dari sisi kualitas hadis, tidak ada yang meragukan darajat keshahihannya. Namun, terjadi perbedaan terkait dengan kandungan hukum yang diistinbathkan dari redaksi hadis di atas. Melengkapi argumentasi fatwanya, MUI menegaskan adanya konsensus (ijma) ulama yang menegaskan bahwa khitan perempuan adalah hal yang disyari'atkan dan tidak ada satupun yang melarangnya. Dari keumuman ayat al-Quran dan hadis yang shahih, praktek sahabat, serta literatur khazanah klasik, tidak ditemukan satu pandanganpun yang menyatakan adanya larangan khitan terhadap perempuan, baik yang dalam status hukum makruh, apalagi haram. Bahkan, ada penegasan tentang telah terjadinya khitan perempuan di zaman nabi saw, dan tidak ada pengingkaran atasnya. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Yusuf al-Qardlawi dalam al-Hukm al-Syar'i fi Khitan al-Inats dengan yang menegaskan bahwa adanya konsensus (Ijma dlimni) dari seluruh fuqaha merupakan dalil bahwa orang yang melakukan khitan perempuan, sepanjang sejalan dengan ketentuan hadis (ada yang menyatakan hasan dan sebagian dlaif), di mana nabi menyarankan memotong sedikit dan tidak berlebihan, maka jelas bukan perbuatan dosa, juga bukan sebagai tindak kriminal". Juga ditegaskan oleh Syeikh al-Azhar Jad al-Haqq dalam Buhust wa Fatawa Islamiyah fi Qhadhaya Mu'ashirah, yang menegaskan bahwa " … Seluruh mazhab dalam fiqih sepakat bahwa sesungguhnya khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah bagian dari fitrah dan syi’ar Islam. Khitan pada dasarnya adalah perkara terpuji, dan sepanjang penelaahan kami atas kitab-kitab fiqih, tidak ada satupun ahli fiqih yang melansir sebuah pendapat yang melarang khitan bagi laki-laki dan perempuan, atau pendapat yang melarang atau menganggap adanya bahaya (dharar) khitan bagi perempuan".   Hanya saja, perbedaan terjadi pada apakah ia sunnah atau wajib. Secara sederhana, pandangan ulama tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:   Tabel Pendapat Madzhab Fikih tentang Hikum Khitan   Madzhab Hukum Khitan Keterangan   Laki-Laki Perempuan   Hanafiyyah Sunnah Sunnah   Malikiyyah Wajib Sunnah Sebagian ulama Malikiyyah menegaskan keduanya wajib, sebagian kecil menganggap keduanya sunnah Syafi'iyyah Wajib Wajib   Hanabilah Wajib Sunnah Sebagian ulama Hanabilah menegaskan keduanya wajib, sebagian lain dalam satu riwayat menganggap keduanya sunnah Zhahiriyyah Wajib Makrumah     ​Dari sini nampak jelas bahwa tidak satupun pandangan ulama yang melarang khitan perempuan. Belakangan muncul upaya menetralkan pengertian kata "makrumah" sebagai sekedar kebolehan, yang berfungsi sebagai irsyad (bimbingan). Walau demikian, pengertian tersebut tetap menegasikan tindak pelarangan terhadap khitan perempuan. ​   C. Fatwa MUI  Terkait Khitan Perempuan: Moderasi Antara Dua Ekstrem ​Dari paparan di atas, penulis menilai bahwa ketetapan fatwa MUI terkait dengan masalah khitan perempuan merupakan langkah moderasi di antara dua ekstrem. Jika digambarkan secara sederhana, penyikapan terhadap masalah khitan perempuan, terdapat dua kutub yang berlawanan:   1. pihak yang melakukan khitan terhadap perempuan dengan praktek yang secara pasti membahayakan, seperti digambarkan terjadi di beberapa negara Afrika Utara.   2. pihak yang melarang seluruh praktek khitan perempuan, dengan alasan sebagai bentuk tindak kekerasan, mutilasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.   Fatwa MUI berdiri di antara dua ekstrem tersebut, karena keduanya, secara akademik maupun keagamaan bertentangan dengan ketentuan normatif yang dikembangkan oleh Islam. Terhadap pihak yang menyatakan pelarangan mutlak terhadap khitan perempuan, secara agama jelas bertentangan. Untuk itu, salah satu diktum fatwa MUI menegaskan bahwa "pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari'ah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam". Sebelumnya, fatwa ini menjelaskan bahwa pelaksanaan khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Walau demikian, fatwa MUI tidak menutup mata terhadap fakta adanya berbagai praktek khitan perempuan yang menimbulkan bahaya. Untuk itu, guna menghindari adanya bahaya akibat penyimpangan terhadap praktek khitan perempuan, fatwa MUI juga menegaskan mengenai batasan atau tata cara khitan perempuan sesuai dengan ketentuan syari'ah, yaitu: (i) khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris; dan (ii) khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar. Penentuan batasan atau tata cara khitan tersebut didasarkan pada petunjuk yang diberikan nabi saw, yang menekankan prinsip; (i) sedikit saja; (ii) tidak berlebihan; dan (iii) tidak menimbulkan bahaya. Dalam keterangan melalui hadisnya, Rasulullah saw hanya memperbolehkan pemotongan itu dilakukan dengan syarat tidak berlebihan, sehingga tidak menyebabkan bahaya, seperti mengurangi fungsi seksual dan dampak fisikis lainnya. Dalam elaborasi lebih lajut, para ulama memberikan penjelasan lebih detil mengenai tata cara pelaksanaan khitan, termasuk khitan terhadap perempuan. Khitan terhadap perempuan secara umum sebanding dengan khitan terhadap laki-laki. Hanya saja, karena secara anatomis antara keduanya berbeda, maka tata caranya juga berbeda. Khitan laki-laki dilakukan dengan membuang kulup yang menutupi penis (hasyafah), sedang pada perempuan dilakukan dengan membuang "kulup" yang menutupi klitoris (bizhr).   D. Permenkes tentang Sunat Perempuan: Regulasi yang Ramah Anak Sebenarnya, dalam perspektif hukum Islam, penegasan mengenai status hukum khitan perempuan tidak hanya disuarakan secara jelas oleh MUI. Hampir seluruh lembaga keagamaan menegaskan hukum yang sama terkait dengan masalah ini. Bahkan, Nahdlatul Ulama dalam Muktamarnya yang ke-32 di Makassar pada 2010 menegaskan  bahwa khitan perempuan menurut Imam al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki. Muktamar juga menegaskan bahwa pendapat yang melarang khitan perempuan sebenarnya tidak memiliki dalil syar’i. Atas dasar realitas inilah kemudian Pemerintah, di dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI melakukan reviu atas SE yang bermasalah tersebut, baik dari sisi struktur keredaksian maupun konten. Dan anehnya, SE inilah yang kemudian dijadikan bahan kampanye kelompok yang “mendakwahkan” larangan sunat perempuan. Seluruh pemangku kepentingan diundang untuk mendiskusikan, mengavaluasi, dan memberi masukan terkait dengan terbitnya SE yang bermasalah ini. Pertemuan tersebut menghadirkan ahli dan sejumlah asosiasi, mulai dari IDI, IDAI, IBI, dan juga kalangan akademisi. Atas prakarsa Dirjen, pertemuan terus diintensifkan untuk melakukan koreksi dan revisi atas SE yang bias budaya ini. Akhirnya, Menteri Kesehatan tidak sekedar merevisi SE, tetapi lebih dari itu, meregulasi praktek pelaksanaan sunat perempuan. Masalah  yang selama ini dijadikan alasan pelarangan sunat perempuan adalah tidak adanya SOP (Standar Operating Prosedure)  dalam pelaksanaan sunat perempuan, sehingga seringkali terjadi penyimpangan yang membahayakan. Atas dasar inilah, maka Menteri Kesehatan menerbitkan Permenkes  Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Secara rinci, Permenkes ini memberikan jaminan perlindungan kesehatan terhadap pelaksanaan sunat perempuan, tanpa terjebak pada wilayah agama dan keyakinan. Permenkes ini mengikat bagi orang yang akan melaksanakan sunat perempuan. Untuk menjamin pelaksanaan sesuai kompetensinya, maka Pasal 2 Permenkes menegaskan bahwa “sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, yang meliputi dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki surat izin praktik, atau surat izin kerja, dan diutamakan berjenis kelamin perempuan. Sementara, untuk menjamin bahwa pelaksanaan sunat perempuan adalah bersifat optional, maka Pasal 3 menegaskan bahwa pelaksanaan sunat perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orang tua, dan/atau walinya, dengan diinformasikan diinformasikan kemungkinan terjadi pendarahan, infeksi, dan rasa nyeri. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan ini, dengan sifatnya berbasis permintaan, juga sekaligus menjawab tudingan sebagian orang bahwa Pemerintah telah masuk dalam urusan agama. Inti Pemnekes ini, menurut hemat penulis adalaha ada di Pasal 4 yang mengatur mengenai syarat dan prosedur pelaksanaan sunat perempuan sebagai berikut:   (1) Pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan persyaratan: a. di ruangan yang bersih; b. tempat tidur/meja tindakan yang bersih; c. alat yang steril; d. pencahayaan yang cukup; dan e. ada air bersih yang mengalir.   (2) Pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan prosedur tindakan sebagai berikut: a. cuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir selama 10 (sepuluh) menit; b. gunakan sarung tangan steril; c. pasien berbaring telentang, kaki direntangkan secara hati-hati; d. fiksasi pada lutut dengan tangan, vulva ditampakkan; e. cuci vulva dengan povidon iodin 10%, menggunakan kain kasa; f. ​bersihkan kotoran (smegma) yang ada diantara frenulum klitoris dan glans klitoris sampai bersih; g. lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris. h. cuci ulang daerah tindakan dengan povidon iodin 10%; i. ​lepas sarung tangan, dan   j. ​cuci tangan dengan sabun dengan air bersih yang mengalir.   Untuk menegaskan perlindungan terhadap anak yang akan disunat dan mencegah terjadinya dampak negatif, maka sunat perempuan tidak dapat dilakukan pada perempuan yang sedang menderita infeksi genitalia eksterna dan/atau infeksi umum. Sunat perempuan dilarang dilakukan dengan cara (i) mengkauterisasi klitoris; (ii) memotong atau merusak klitoris baik sebagian maupun seluruhnya; dan (iii) memotong atau merusak labia minora, labia majora, hymen atau selaput dara dan vagina baik sebagian maupun seluruhnya. Ketentuan ini sekaligus mengonfirmasi praktek sunat perempuan yang tidak dibenarkan secara medis, membahayakan, dan karenanya dilarang. Dengan demikian, seluruh hal yang menjadi “dalil” aktifis yang memperjuangkan pelarangan sunat perempuan secara mutlak rontok oleh Permenkes ini. Permenkes ini juga sekaligus menjadi benteng untuk mencegah peyimpangan praktek sunat perempuan yang membahayakan bagi orang yang disunat. Walau demikian, terhadap Permenkes ini, masih banyak yang “berteriak” dan menganggap Permenkes ini bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam pernyataan sikapnya, yayasan Kalyanamitra dan LSM Amnesty International menyerukan pencabutan Permenkes ini. dalam pernyataannya, Permenkes ini dianggap melegitimasi praktik perusakan alat kelamin perempuan hingga pada mutilasi/ pemotongan alat kelamin perempuan, yang selama ini di kenal dengan istilah “Sunat Perempuan”. Mengikuti utuh pernyataan sikap tersebut, jelas sekali bahwa sikap itu tidak didasarkan pada pengetahuan memadai atas substansi Permenkes ini, pun juga pengetahuan memadai tentang hakekat sunat perempuan yang beririsan dengan masalah doktrin agama. Dalam pernyataan sikapnya, kelompok ini, mengutip Komite PBB untuk CEDAW 2007 menegaskan bahwa praktek sunat perempuan “tidak memiliki dasar dalam agama”. Pertanyaannya kemudian, agama yang mana?  Sebagaimana penjelasan di awal, dalam Islam praktek sunat perempuan jelas berelasi dengan agama. Di samping meminta pencabutan Permenkes, kelompok ini juga menggadang-gadang SE tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan yang dalam tata peraturan perundang-undangan sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum untuk dapat dijadikan sebagai Peraturan Menteri. Dari sini sangat terlihat bagaimana pertarungan sengit antar elemen masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik pada kasus sunat perempuan. Nalar agama sedang bertarung dengan nalar nonagama dalam penyusunan kebijakan publik. Dalam konteks ini sangat terlihat bahwa nalar agama memainkan peran dalam penyusunan regulasi yang beririsan dengan masalah agama. Sementara, kelompok nonagama berkontribusi dalam melahirkan Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan Nomor HK.00.07.1.3.1047a yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, tahun 2006. Sayangnya, dalam hirarki dan tata peraturan perundangan di Indonesia, SE tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Itupun kemudian menjadi batal demi hukum dengan diterbitkannya Permenkes tentang Sunat Perempuan ini. Dari alur dan prosesnya diketahui bahwa SE Dirjen Binkesmas diterbitkan atas advokasi dan dorongan dari pegiat pelarangan sunat perempuan, yang mengandalkan instrumen internasional sebagai, kelompok ini menisbatkan dirinya pada NGO asing. Sementara, Permenkes muncul sebagai tindak lanjut dari gugatan masyarakat dan diberi suntikan amunisi dengan fatwa MUI tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan. Berpijak pada realitas obyektif inilah akhirnya Menteri Kesehatan menetapkan Permenkes tentang Sunat Perempuan. dalam konteks ini MUI, melalui Fatwa tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan  berada satu garis dengan Permenkes yang mengoreksi total SE tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan yang memang tidak memiliki basis legitimasi, baik moral maupun yuridis.   E. Khitan Perempuan dan Perlindungan Terhadap Hak Anak ​Dalam paparan di atas, dapat dipahami bahwa baik Fatwa MUI tentang khitan perempuan maupun Permenkes Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan sejalan dengan upaya perlindungan terhadap hak perempuan. Pemberian penjelasan mengenai batasan yang diperhatikan dalam pelaksanaan khitan justru meneguhkan perlindungan terhadap hak anak; perlindungan dari dampak negatif yang ditimbulkan akibat tindakan berlebihan dalam praktek khitan yang menyebabkan bahaya. Meski suda ada ketegasan posisi khitan terhadap perempuan, masih saja muncul opini sistematis bahwa khitan perempuan merupakan pelanggaran terhadap hak perempuan, merusak alat reproduksi, dan opini stereotipikal lainnya. Apakah khitan perempuan merupakan pengingkaran terhadap hak-hak anak dan perempuan yang dijunjung tinggi, terkait perlindungan akan kesehatan dan hak reproduksi mereka. Bahkan dikategorikan sebagai tindakan kriminal? Untuk menjawabnya, perlu ada verifikasi kelompok masyarakat yang melakukan gerakan pelarangan khitan terhadap perempuan. Secara umum dapat dikategorikan menjadi dua; pertama, gerakan pelarangan khitan perempuan yang menyimpang, dan kedua pelarangan  khitan perempuan secara mutlak.   Pertama, kelompok yang melarang khitan perempuan yang menyimpang dari kaedah agama dan medis. Kelompok ini mengadvokasi atas peyimpangan pelaksanaan khitan terhadap perempuan. Mereka mendasarkan pelarangan khitan perempuan pada realitas adanya penyimpangan terhadap praktek khitan perempuan, dan tidak sesuai dengan ketentuan fikih. Sejatinya, yang dituntut adalah pelarangan khitan perempuan yang menyimpang dari ketentuan, yang mengakibatkan bahaya. Agaknya pandangan kelompok ini sejalan dengan ketentuan fatwa MUI. Bahwa tindakan khitan yang tidak sesuai dengan ketentuan syari'ah dan membahayakan harus dilarang. Sementara, khitan perempuan yang sejalan dengan ketentuan syari'ah tidak terlarang, bahkan dianjurkan sebagai fitrah dan syi'ar Islam. ​Ketentuan mengenai tata cara khitan terhadap perempuan yang dijelaskan dalam diktum fatwa MUI menegaskan batasan-batasan, yang secara fikih dibenarkan dan secara medis tidak menimbulkan bahaya. Jika terdapat penyimpangan, yang mengakibatkan bahaya secara nyata bagi si perempuan, maka ia secara otomatis terlarang, dan bahkan bisa dihukumi haram. Sebagaimana sabda nabi saw: لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ (رواه أحمد وابن ماجه عن ابن عباس وعبادة بن الصامت) "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh (pula) membahayakan orang lain"   Pada kelompok ini, hendaknya kampanye diarahkan pada pemberian pemahaman yang benar mengenai tata cara khitan terhadap perempuan yang benar secara syari'ah dan aman secara medis. Dengan demikian, fatwa MUI dapat dijadikan guidence serta bahan efektif untuk deseminasi kebijakan ini.     Kedua, kelompok yang melarang khitan perempuan secara mutlak. Kelompok ini umumnya mendasarkan larangannya pada dalil umum tentang upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1984). Isu pelarangan khitan perempuan menjadi polemik dan muncul menjadi isu publik yang kontroversial seiring dengan adanya kampanye sistemik, yang mengkaitkan praktek khitan perempuan dengan isu perlindungan hak asasi manusia, hak anak, dan juga hak perempuan dalam melakukan reproduksi. Secara normatif, gagasan dan semangat perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak anak dan hak perempuan menjadi komitmen semua bangsa yang berbudaya, apapun agamanya. Permasalahan muncul ketika mengkategorikan khitan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Hal ini mengingat, dalam tataran implementasi, penentuan suatu perbuatan dikategorikan sebagai pelanggaran atau tidak sifatnya sangat subyektif, sangat kondisional dan juga sangat terkait dengan struktur sosial, keyakinan, dan nilai yang hidup di masyarakat. Ada upaya sistematis menggiring opini bahwa pelaksanaan khitan terhadap perempuan adalah tindakan kriminal, perusakan alat kelamin, tindak mutilasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Menurut hemat penulis, kelompok ini sangat bias budaya dan juga agama. Bahwa CEDAW (Convention on The Elimination of All forms of Discrimination Againts Women) sebagai sebuah konvensi internasional yang sudah diratifikasi ke dalam UU, kita memang terikat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku. Dalam fikih perikatan, etika ini sangat dijaga. Hadits di bawah ini menegaskan komitmen itu:   وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا "Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”   Namun, dalam implementasinya sangat tergantung dengan berbagai aspek, baik  hukum, budaya, agama, dan tradisi yang hidup di masyarakat. Pemaksaan pemaknaan khitan perempuan sebagai bentuk pelanggaran adalah tindakan inkonstitusional, provokatif dan justru bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW). UU tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa pelaksanaan ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang dikehendaki bangsa Indonesia. Dan salah satu norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia adalah khitan perempuan. Dari sini, dapat dipahami bahwa segala upaya pelarangan terhadap hal yang diyakini sebagai norma agama adalah inkonstitusional, melawan hukum, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling asasi, yakni hak beragama dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan termasuk di dalam bagian ini. Penghargaan terhadap nilai agama dan keragaman budaya merupakan prinsip universal yang harus diperhatikan dalam penetapan setiap kebijakan publik. Tradisi Barat yang setting sosialnya berbasis ajaran kristiani akan sangat berbeda dengan cara pandang Islam dalam hal yang terkait dengan masalah keagamaan. Tradisi kristiani tidak mengenal ritual "khitan". Dalam Islam, sebagaimana tergambar dalam pembahasan di atas, khitan termasuk kategori ibadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Meski intensitas hukum taklifi (pembebanan)nya diperselisihkan, antara wajib, sunnah, dan makrumah. Dan dalam kaedah hukum Islam, asal dari ibadah adalah bersifat ta'abbudi (dogmatik) (al-Ghalib fi al-ibadah al-ta'abbud wa al-tauqif). Dalam istilah filsafat hukum Islam jenis ini disebut ghair ma'qulat al-ma'na (tidak dapat dirasionalisasi), meski tidak jarang ditemukan manfaat lahiriah atas pelaksanaan dogma tersebut, sebagaimana banyak ditemukan manfaat medis atas khitan bagi laki-laki. Prinsip dari pelaksanaan ibadah yang dogmatik adalah ketundukan. Sekalipun tidak ditemukan manfaat medis sekalipun, sepanjang dalil agama menunjukkan adanya pensyari'atan, maka ia tetap harus dilaksanakan. Alasan mengenai tidak adanya manfaat medis atas khitan perempuan, sebagaimana termuat juga dalam Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, bukan merupakan petunjuk atas terlarangnya khitan perempuan. Dalam bahasa ushul fiqih, "ketiadaan dalil tidak dapat dijadikan dalil". Dalam konteks ini ketiadaan temuan medik mengenai manfaat atas pelaksanaan khitan perempuan bukan merupakan dalil atau alasan dilarangnya khitan perempuan. Alasan ketiadaan prosedur medis dalam melakukan khitan perempuan untuk melarang khitan perempuan juga alasan yang musykil. Justru itulah, tenaga kesehatan dan instansi yang bertangung jawab di bidang medik ini memberikan prosedur medis, bukan justru menjadikannya alasan pelarangan. Batasan atau tata cara khitan terhadap perempuan secara fikih tersebut seharusnya dioperasionalisasi dalam bahasa medis, sehingga tidak terjadi benturan. Ragam pemahaman tentang subtansi khitan perempuan juga memiliki andil yang tidak kecil terhadap fenomena pelarangan khitan perempuan. Sebagaimana dalam konsepsi fikih tidak dijelaskan secara rinci mengenai tata cara khitan perempuan, pengertian sunat perempuan di dunia medik juga terjadi keragaman pemahaman, baik substansi maupun peristilahan. Dalam terminologi WHO, setidaknya ada beberapa istilah yang digunakan; FGM (Female Genital Mutilation), FGC (Female Genital Cutting), Circumcision, dan FGM/C (Female Genital Mutilation/Cutting), dan mendefinisikannya sebagai "all procedures involving partial or total removal of the external female genitalia or other injury to the female genital organs whether for cultural, religious or other non-therapeutic reasons". Fransiska Lisnawati Kerong, dalam bukunya "Female Genital Mutilation Ditinjau dari Aspek Hukum Perlindungan Perempuan dan Hak Asasi Manusia" yang diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya Jakarta menegaskan dalam abstraknya bahwa "Female Genital Mutilation (sunat perempuan) merupakan tindakan pemotongan sebagian atau seluruh organ genital perempuan, yang dilakukan pada bayi atau anak perempuan sebelum mencapai usia akhil balik". Definisi FGM yang seperti ini, tidak sejalan dengan pengertian sunat perempuan dalam perspektif fikih Islam. Pengertian ini menambah biasnya pengertian khitan perempuan. Jika khitan perempuan dikategorikan sebagai mutilasi yang terlarang, maka logikanya sebenarnya khitan laki-laki lebih layak untuk dilarang, karena jelas-jelas memotong bagian dari kemaluan laki-laki dan membuangnya. Namun, tidak banyak yang berani mengampanyekan larangan khitan bagi laki-laki dan mengkategorikannya sebagai tindakan mutilasi yang melanggar HAM. Apakah karena sudah banyak penelitian yang membuktikan mutilasi organ kelamin laki-laki ini dapat menghindarkan diri dari penyakit kelamin seperti kanker dan HIV, kemudian ia tidak dimasukkan sebagai "mutilasi" yang terlarang, sementara dalam hal "mutilasi" kelamin perempuan karena belum ada penemuan ilmiah, sehingga ia masuk kategori pelanggaran HAM? Dugaan penulis, karena pelarangan khitan terhadap laki-laki akan membentur tembok besar keyakinan umat Islam yang sangat kuat. Walau demikian, American Medical Association (Asosiasi Medis Amerika) menyatakan bahwa perhimpunan kesehatan di Amerika Serikat, Australia dan Kanada tidak merekomendasikan sunat rutin non-therapeutic pada bayi laki-laki. Para pendukung integritas genital mengecam semua tindakan sunat pada bayi karena menurut mereka itu adalah bentuk mutilasi genital pria yang dapat disamakan dengan sunat pada wanita yang dilarang di AS. Jika pelarangan khitan terhadap perempuan bersifat mutlak sebagaimana tergambar di atas, maka Fatwa MUI dapat menjadi benteng atas langkah-langkah sistemik tersebut, dan ia berada dalam posisi yang berhadapan dengan kelompok ini.   F. Kesimpulan Dari paparan di atas, sebagai penutup makalah ini dapat disampaikan beberapa kesimpulan, di antaranya:   1. Dalam madzhab fikih yang utama, diperoleh konsensus bahwa tidak dibenarkan pelarangan khitan terhadap perempuan. 2. Perlu ada pemahaman yang benar dan utuh terhadap terminologi khitan perempuan. Kesalahan konsepsi terhadap khitan perempuan akan melahirkan kebijakan yang salah pula. Penyamaan definisi khitan perempuan dalam konteks Indonesia yang berbasis norma agama Islam dengan Female Genital Mutilation (FGM) adalah tindakan yang ceroboh yang ahistoris. Penyebutan FGM dengan khitan/sunat perempuan dan medikalisasi sunat perempuan juga tindakan gegabah. Pandangan Prof Jurnalis Uddin tidak menyamakan FGM dengan khitan perempuan dan menjelaskan bahwa di Indonesia tidak ada khitan perempuan model FGM. 3. Fatwa MUI  tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan punya dua dimensi; (i) penegasan dan respons atas gerakan pelarangan khitan terhadap perempuan secara mutlak. MUI menilai bahwa pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari'ah, melanggar konstitusi, dan melanggar hak asasi manusia yang paling dasar, yakni hak kebebasan beragama dan menjalankan agamanya; (ii) penegasan akan pentingnya regulasi dan sosialisasi atas praktek khitan terhadap perempuan yang berar secara syar'i dan aman secara medik, sehingga tidak mendatangkan bahaya bagi perempuan. 4. Fatwa MUI tentang khitan perempuan ini berhadapan secara diametral dengan kelompok masyarakat yang memaksakan diri untuk melakukan pelarangan khitan  terhadap perempuan secara mutlak. Tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan syari'ah dan nilai universal hak asasi manusia, serta melanggar konstitusi negara. 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan merupakan upaya untuk memberikan perlindungan anak, terutama terkait dengan hak agama dan hak kesehatan. Permenkes ini memberikan petunjuk teknis mengenai tata cara pelaksanaan sunat perempuan yang aman secara medis sehingga hak kesehatan anak terpenuhi, sekaligus menjamin pemenuhan hak agama anak yang meyakini bahwa khitan, baik laki-laki maupun perempuan merupakan ajaran agama.

3 komentar:

  1. terima kasih ilmunya dokter :)
    mau tanya, kl tenaga medis/dokter yg bersertifikasi utk khitan perempuan dimana ya? kebetulan putri saya sdh 11 bulan tp blm khitan, terima kasih :)

    BalasHapus
  2. dokter, paragrafnya gak ada...
    bingung bacanya :P

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum Dokter, usia berapa yang paling tepat untuk khitan pada perempuan?

    BalasHapus